Beranda > cerpen, puisi, Uncategorized > SIDIKALANG

SIDIKALANG

Selalu ada yang menarik dari setiap peran yang kita mainkan dalam drama kehidupan. Jika seluruh perjalanan hidup kita ceritakan , tentu akan bisa menjadi sebuah novel sapta logi. Sedang bagian kecil, salah satu adegan dalam drama kehidupan ini, bisa kita ceritakan dalam bentuk cerpen. Selanjutnya, jika cerpen itu bercerita tentang kisah cinta dua insan manusia, maka kita akan mengenalnya sebagai roman picisan. Kalo ga salah lho…

Setiap kita, tentu punya kisah yang berbeda. Dan sungguh, aku berhasrat besar ingin menceritakan tentang kisah hidupku pada Kawan sekalian. Hanya sayangnya, aku tak begitu pandai menyusun kata, untuk membentuk sebuah cerita. Menyedihkan? Tidak! Masih ada cara lainnya. Akan aku kisahkan cerita dari temanku tentang temannya, yang olehnya pernah dikisahkan kepadaku. Begini dia bertutur kepadaku:

 

AKU

Sholihin, nama temanku itu, lebih beruntung dari aku. Dia bisa sekolah hingga lulus SMA, sedang aku hanya tamat SD. Sebenarnya aku sempat masuk SMP, tapi karena kondisi ekonomi keluarga, terpaksa aku tak mampu menyelesaikannya. Lain halnya dengan sholihin. Temanku itu lahir dari keluarga berada, sehingga bisa menamatkan sekolah hingga SMA.

Ijazah SDku tentu tak laku untuk melamar kerja. Beda dengan sholihin. Dengan ijazah SMA, dia bisa melamar kerja di manamana. Dari sekian banyak surat balasan, solihin akhirnya menetapkan satu pilihan. Dia memilih bekerja di sebuah toko Buku. Dan aku, kawannya, tetap saja mencangkul di sawah. Membantu ibu dan ayah.

*

Bertahun telah berlalu, kini anakku sejumlah satu. Aku dipaksa nikah oleh ibu dan ayah, demi nama baik seorang lurah. Ceritanya, anak pak lurah hamil di luar nikah. Dan akulah yang kena getah. Pahit, tapi tak boleh aku muntah.

Setahuku, hingga kini sholikin masih sendiri. Dia masih suka menmbujang.  Suatu hari menyempatkan diri di waktu luang, ke rumahnya aku bertandang. Kutanyakan kepada sholihin mengenai dia punya kabar, dan juga kapan sekiranya janur kuning akan berkibar.

 

Ehm.

Sholihin sedikit berdehem, lalu seperti dulu, menyimpulkan sedikit senyum. Dari dia punya cerita, akupun tahu akhirnya. Dia sudah tidak lagi bekerja di toko buku, sejak beberapa tahun yang lalu. Kini dia bekerja sebagai pustakawan, pegawai perpustakaan, pada sebuah lembaga pendidikan yang kenamaan di kota medan.

Ehm… (Heran aku. Berdehem kok berkalikali..)

Kembali sholihin berdehem, dan kepadaku dia tetap melempar senyum.

“Terus gimana Shol, kapan nih rencana nikahnya?” tanyaku pada Sholihin.

“Sebentar Kawan, itu perkara gampang…,” berdehem, lalu tersenyum kembali. Setelah itu, sholihin panjang lebar berkisah kepadaku. Begini si sholihin punya kisah itu:

 

Hari yang Melelahkan

Hari itu, kawan, adalah hari yang melelahkan. Demikian sholihin mulai menceritakan. Berharihari aku mengikuti pameran, dan hari itu adalah hari yang penutupan. Sore hari aku pulang, mandi lalu minum kopi. Rokok? Tentu tak lupa. Tak pernah aku tinggalkan itu saat menghirup harumnya kopi seduhan emakku. Emak yang sangat sayang kepadaku, yang sore itu membawakan sebuah amplop kepadaku.

Amplop balasan. Ringkasnya, aku diterima bekerja sebagai karyawan perpustakaan disebuah lembaga pendidikan, suatu sekolah yang kenamaan di kota medan. Hebat bukan, saudaramu ini, kawan?

Pagi harinya, aku berangkat memenuhi panggilan itu. Hari itu juga aku diperkenalkan kepada para guru. Semuanya ramah, kecuali siti jamilah. Guru yang satu itu, nampak dingin dan diam. Dan tentu, aku biarkan.

Seharihari aku bekerja diperpustakaan. Melayani kebutuhan buku para guru, siswa, juga karyawan. Di waktuwaktu senggang, aku selalu sempatkan diri membaca buku, sebagaimana dahulu ketika bekerja di toko buku. Semua aku baca, segalanya aku pelajari. Dari buku ensiklopedi, buku motivasi, hingga teori tentang puisi. Kawan, mulai saat itulah, aku suka menulis baitbait puisi.

Sungguh aku heran., demikian sholihin menceritakan.  Dari sekian banyak murid, guru, juga karyawan, ternyata tak ada yang suka puisi ataupun cerita roman. Saban hari yang laris dipinjam hanya bukubuku pelajaran. Buku dan majalah sastra bahkan hampir tak pernah tersentuh tangan. Kecuali, ya, kecuali guru yang satu itu. Guru yang dingin dan juga pendiam. Sebagaimana aku, ternyata dia adalah guru yang masih baru. Elok parasnya, cantik wajahnya, juga ayu rupanya. Suaranya? Jika engkau mendengarnya, Kawan, maka saat itu juga..wusss…engkau bakalan melayanglayang di udara. merdu, indah terdengar di telinga. Terus terang aku jatuh hati dibuatnya. Kalimatnya sangat efektif, singkat tanpa berteletele, tanpa sungkan dan basabasi.

“Gress, putu wijaya,” demikian dia suka memerintahku seenaknya. Suka berlamalama membaca ternyata dia seorang yang agak pelupa. seringkali kacamatanya ketinggalan di ruang baca. He..he..

Dan suatu hari, saat aku sedang menulis puisi seperti ini:

 

KAU;BATU

Kau bagaikan batu, benarbenar batu.

Wajahmu batu, hatimu batu.

Dan aku, pemahat batu.

Kan kucuri bongkahan hati dari tubuhmumu,

kupahat dan kusihir menjadi kupukupu.

kutiup, terbang mengangkasa dan hinggap engkau

di pucuk bunga seroja.

 

Kau juga sebuah kerang. Dalam dinginnya laut kau menari riang.

Dan akulah pecinta mutiara, pencari indah…….

 

Belum sempat aku menulis puisi, datang suara indah menelusup ke dalam gendang telinga. Sangat efektif, “Sajak Emas, Dimas Arika Miharja!”  Akupun segera melayaninya dengan suka cita. Mengambilkan buku kumpulan puisi dari tempatnya.

*

“Mas…..,” sebuah suara memanggil sholihin. Tibatiba pula kursiku melayanglayang, terbang ke awangawang. dan pelanpelan, kembali aku di bumi bagian permukaan. Duduk kembali, ketika tibatiba solihin berujar:

“Sebentar kawan, kopi telah siap. Biar aku masuk untuk mengambilkan.” demikian, sholihin masuk rumah.  Sebentar kemudian dia keluar, membawa nampan berisi 2 cangkir kopi.

“Mari, kita ngopi dulu sebelum aku lanjutkan ceritaku. Biar tak ngantuk kawan..,” solihin mempersilahkan.

“Srruuuufffttt,” terasa sedap sekali kopi itu. Harum, mantap, pokoknya sip markosip. Belum pernah sekalipun aku merasakan kopi senikmat ini.

“Kopi apa ini shol?” tanyaku pada sholihin.

SIDIKALANG,” Singkat sholihin menjawab.

 

 

Tamat~

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar